Korban Perbudakan di Pabrik
Panci Tangerang
JAKARTA
— Dengan wajah nelangsa, Nuryana, 22, menceritakan kepada wartawan pengalaman
pahitnya ketika bekerja di pabrik panci di Kampung Bayur Kopak, Desa Lebak
Wangi, Sepatan, Tangerang.
Dalam
waktu enam bulan dia bekerja di pabrik milik Juki Hidayat itu, tidak
sepeser pun uang yang diterimanya, padahal anak ke enam dari tujuh bersaudara
itu bekerja untuk membantu orangtuanya.
Setiap
hari, kata Nuryana, dia dan teman-temannya harus bekerja lebih dari 12 jam
untuk membuat 200 panci. Jika tidak mencapai target, lanjutnya, para pekerja
akan disiksa dan dipukul. Mereka bekerja mulai jam 5.30 pagi hingga jam 1
malam, hanya . mereka hanya diberi makan nasi putih, tahu dan tempe.
Usai bekerja, para pekerja tinggal di sebuah ruangan
berukuran 4 meter X 6 meter yang berada di belakang pabrik. Di dalam ruangan
kecil itu terdapat kamar mandi, namun tidak ada ventilasi udara, dan mereka
hanya diberi dua tikar yang sudah rusak untuk tidur. Ruangan itu kemudian
dikunci dari luar.
Nuryana
menceritakan para pekerja yang rata-rata berumur 17 hingga 24 tahun ini hanya
memiliki satu baju yang melekat di tubuh, karena menurutnya baju,
ponsel dan uang yang mereka bawa dari kampung disita oleh sang majikan
ketika baru tiba di pabrik tersebut.
Pria
asal Cianjur ini bekerja di pabrik itu atas ajakan seseorang yang dia kenal
dari temannya. Dia diiming-imingi mendapat gaji Rp 600 ribu per bulannya.
“Kondisi di sana sangat memprihatinkan, tidak layak untuk
ditiduri. Trauma rasanya. Sering diancam oleh mandor-mandor dan bos Juki, mau dipukulin
sampai kita mati, mayatnya langsung mau dibuang di laut kalau kita macam-macam
di sana. Sama Brimob Pak Nurjaman, ngeluarin senjata, ditembakin ke tanah pas
dekat kaki-kaki kita semua, katanya jangan macam-macam, kalau macam-macam kayak
gini,” ujarnya.
Tindakan tidak manusiawi yang diberikan kepada para buruh di pabrik panci itu membuat sejumlah pekerja berusaha untuk melarikan diri, seperti Darmin. Ada yang berhasil dan ada yang tidak.
Darmin mengungkapkan dia pernah berusaha kabur dari pabrik tersebut tetapi tidak berhasil. “Itu ada yang kejar, tentara itu, saya langsung lari tapi ketangkap juga. Ditarik langsung dipukuli sebentar terus saya diteriakin maling sama tentara itu, terus warga pada kumpul kan lalu saya bilang saya bukan maling. Saya pekerja tidak betah, lalu warga pergi. Terus saya diikat sama tentara terus dibawa ke mess. Saya ditelanjangi, dipukuli, ditendang, ditampar, dikurung di WC satu malam terus besokannya kerja lagi,” ujarnya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lies Sulistiani menyatakan pihaknya akan berupaya memulihkan trauma para korban serta memfasilitasi para korban untuk meminta ganti rugi kepada pelaku. “Dan kemudian kalau terkait soal perlindungan fisik, kami akan mengkoordinasikan dulu kepada Polda (Metro) Jaya, Polda Jabar serta Polres Cianjur dan Lampung Utara karena khawatirkan anak-anak ini yang telah kembali ke orangtuanya, karena mereka bilang khawatir masih berkeliaran orang-orang suruhan Juki walaupu Juki dan mandor sudah ada di dalam,” ujarnya.
Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar meminta polisi dan pemerintah serius membongkar kasus ini. Pemerintah, kata Haris, juga harus dapat mencegah adanya perbudakan dalam bisnis ilegal. “Saya pikir kita dukung bisnis-bisnis kecil, home industry, kita dukung, tetapi bukan berarti negara boleh tidak melihat mereka. Itu bukan berarti negara tidak perlu mengawasi mereka. Negara tetap perlu tahu apa yang terjadi dan apa yang mungkin terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Timor Pradopo berjanji akan menindak tegas aparatnya yang turut terlibat dalam kasus perbudakan di Pabrik panci di Tangerang, Banten.
Praktek penyekapan dan perbudakan buruh di pabrik panci ini terkuak setelah dua buruh di pabrik itu berhasil melarikan diri dan melapor ke pos polisi setempat serta mengadu ke Komnas HAM dan Kontras Jakarta.
Dari pelaporan itu pada Jumat lalu, pabrik ini akhirnya digerebek oleh polisi. Dan sekitar 40an buruh dari Lampung dan Jawa Barat itu dipulangkan ke keluarga masing-masing.
KASUS ETIKA BISNIS ANTARA TELKOMSEL dan XL
Salah satu contoh problem etika bisnis yang marak pada tahun kemarin adalah perang provider celullar antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali kita melihat iklan-iklan kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif sendiri. Kini perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar. Bintang iklan yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang sekarang sedang naik daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL.
Dengan
kurun waktu yang tidak lama TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Kartu
AS meluncurkan iklan baru dengan bintang sule. Dalam iklan tersebut, sule
menyatakan kepada pers bahwa dia sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS
yang katanya murahnya dari awal, jujur. Perang iklan antar operator sebenarnya
sudah lama terjadi. Namun pada perang iklan tersebut, tergolong parah.
Biasanya, tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama
jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan
XL masih diputar di Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan
lain dengan menggunakan bintang iklan yang sama.
Dalam
kasus ini, kedua provider telah melanggar peraturan-peraturan dan
prinsip-prinsip dalam Perundang-undangan. Dimana dalam salah satu prinsip etika
yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh
merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.” Pelanggaran
yang dilakukan kedua provider ini tentu akan membawa dampak yang buruk bagi
perkembangan ekonomi, bukan hanya pada ekonomi tetapi juga bagaimana pendapat
masyarakat yang melihat dan menilai kedua provider ini secara moral dan
melanggar hukum dengan saling bersaing dengan cara yang tidak sehat. Kedua
kompetitor ini harusnya professional dalam menjalankan bisnis, bukan hanya
untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi, tetapi harus juga menjaga etika dan
moralnya dimasyarakat yang menjadi konsumen kedua perusahaan tersebut serta
harus mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat.
KASUS PELANGGARAN ETIKA (KASUS INDOMIE DI TAIWAN)
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam sistem
perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan
mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi.
Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap menghalalkan berbagai
cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau
tidak.
Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam pelaporan kinerja keuangan perusahaan.
Peluang-peluang yang diberikan pemerintah pada masa orde baru telah memberi kesempatan pada usaha-usaha tertentu untuk melakukan penguasaan pangsa pasar secara tidak wajar. Keadaan tersebut didukung oleh orientasi bisnis yang tidak hanya pada produk dan kosumen tetapi lebih menekankan pada persaingan sehingga etika bisnis tidak lagi diperhatikan dan akhirnya telah menjadi praktek monopoli, persengkongkolan dan sebagainya.
Akhir-akhir ini pelanggaran etika bisnis dan persaingan tidak sehat dalam upaya penguasaan pangsa pasar terasa semakin memberatkan para pengusaha menengah kebawah yang kurang memiliki kemampuan bersaing karena perusahaan besar telah mulai merambah untuk menguasai bisnis dari hulu ke hilir. Perlu adanya sanksi yang tegas mengenai larangan prakti monopoli dan usaha yang tidak sehat agar dapat mengurangi terjadinya pelenggaran etika bisnis dalam dunia usaha.
CONTOH KASUS WHISTLEBLOWER
BLITZKRIEG
alias serangan kilat KPK ke DPRD Provinsi Riau, Rabu (4/4/2012) pekan lalu
meninggalkan rumor: “Pasti ada orang dalam yang melapor.” Kalau ya kenapa,
kalau tidak kenapa? Dengan demikian tidak penting apakah ada orang dalam atau
orang luar yang melapor. Kenyataannya KPK sudah turun melaksanakan tugasnya.
Selebihnya kita ikuti proses penyelidikan dan proses hukumnya. Fiat iustitia et
ruat coelum.
Namun tidak
bisa dipungkiri, karena keterbatasan personil untuk menjangkau seluruh wilayah
nusantara, KPK tetap memerlukan jasa informan atau pengadu, seseorang yang
menyampaikan informasi kepada KPK. Dalam dialog interaktif jarak jauh saya
dengan Juru Bicara KPK, Djohan Budi, yang dipandu oleh RRI Pekanbaru beberapa
hari lalu, diungkapkan, bahwa KPK dalam melaksanakan tugasnya, juga menggunakan
pendekatan whistleblower’s system.
Whistleblower
adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana
korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki
akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi
tersebut. Dalam arti harfiahnya whistleblower adalah peniup peluit. Sejenis
peluit yang sering digunakan dalam pertandingan olahraga. Istilah whistleblower
ini sebernarnya bukan sesuatu yang baru. Istilah tersebut pertama kali
dipopulerkan oleh Ralph Nader, seorang aktivis di Amerika Serikat untuk
menghindari konotasi negatif terhadap istilah informan atau pengadu. Mesin
pencari Wikipedia.org menggunakan istilah “Pengungkap Aib” untuk menerjemahkan
whistleblower. Secara umum whistleblower sebenarnya tidak hanya melaporkan
masalah korupsi saja, tetapi juga skandal lain atau segala hal yang melanggar
hukum dan dapat menimbulkan tidak hanya kerugian tetapi ancaman bagi
masyarakat.
Contoh yang
paling popular di Indonesia tentang Whistleblower adalah ketika maraknya
pemberitaan yang menimpa Kepolisian Republik Indonesia yang berhadapan dengan
whistle blower (Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri). Skandal ditubuh
Kepolisian yang dilaporkan oleh Whistleblower ketika itu adalah skandal makelar
kasus. Atas keberaniannya mengungkap kebenaran atas pelanggaran yang terjadi
maka Komjen Susno Duadji, meraih Whistle Blower Award 2010 dari Komunitas
Pengusaha Antisuap (Kupas). Susno menang karena dinilai memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh panitia, yaitu laporannya berdasarkan fakta dan bukan fitnah;
memberikan dampak publik yang luas dan positif; bertujuan agar ada
langkah-langkah konkret untuk perbaikan ke depan; tidak ada motivasi untuk
memopulerkan diri dan meraih keuntungan pribadi, baik secara fisik maupun
secara finansial; serta menyadari sepenuhnya segala potensi risiko bagi dirinya
atau keluarganya. (Kompasiana.com)
Memang
beberapa kalangan tertentu, terutama yang memberi arti sempit terhadap semangat
korp (esprit de corp) memandang whistleblower adalah seorang pengkhianat karena
melaporkan masalah internal institusinya kepada KPK. Tetapi bagi masyarakat
umum yang terhindar dari kerugian lebih besar akibat informasi yang dilaporkan
kepada KPK, sehingga pihak yang bersalah bisa dikenakan sangsi, Whistleblower
adalah pahlawan.
Untuk yang
ingin melaporkan indikasi tindak pidana korupsi, tapi merasa sungkan atau takut
identitasnya terungkap, karena kebetulan kenal baik dengan pelakunya, misalnya
atasan, teman sekerja, dan lain-lain, seseorang bisa menggunakan fasilitas
Whistleblower. Sebenarnya, melaporkan indikasi tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh atasan kepada bagian Pengawasan Internal di tempat seseorang
bekerja bisa saja dilakukan, tapi tidak ada jaminan identitas pelapor akan
terjaga kerahasiaannya. Dengan menjadi whistleblower bagi KPK, kerahasiaan
identitas pasti dijamin KPK. Mau?